Fintech Syariah Sebagai Manifestasi Pengoptimalan UMKM di Era Modern
Dewasa ini pemakaian internet telah menjadi kebutuhan untuk sebagian besar masyarakat di penjuru dunia. Terlebih lagi sejak dunia dilanda krisis kesehatan global yang menuntut dan mengharuskan kita untuk menyesuaikan diri dengan keadaan tidak dapat bercengkrama dengan dunia luar. Menurut studi platform manajemen media sosial HootSuite serta agensi marketing sosial We Are Social berjudul “Global Digital Reports 2020”, nyaris 64 persen penduduk Indonesia telah terkoneksi dengan jaringan internet. Studi yang dirilis pada akhir Januari 2020 itu mengatakan, jumlah penguna internet di Indonesia telah menggapai 175,4 juta orang, sedangkan total jumlah penduduk Indonesia mendekati 272,1 juta. Dibanding tahun 2019 yang lalu, jumlah pengguna internet di Indonesia meningkat sekitar 17 persen atau 25 juta pengguna.
Tingginya pemakaian internet di kalangan warga Indonesia sebagian besar didominasi oleh pemakaian sosial media. Namun, penggunaan teknologi dibidang lain salah satunya di bidang keungan juga terus berkembang. Financial Technology ataupun yang biasa disingkat FinTech merupakan salah satu wujud digitalisasi ekonomi di era modern. FinTech juga bagaikan segmen di dunia start-up yang dapat membantu untuk mengoptimalkan pemakaian teknologi, mempertajam, mengubah, dan mempercepat berbagai aspek pelayanan keuangan. Bank Indonesia membagi fintech kedalam 4 jenis, yaitu Peer-to-Peer (P2P) Lending dan Crowdfunding; Manajemen Risiko Investasi; Payment, Clearing, dan Settlement; dan Market Aggregator.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim memiliki peluang besar untuk menjadi pasar halal terbesar di dunia, industri keuangan syariah di Indonesia juga ikut berfungsi aktif dalam pengembangan FinTech berbasis syariah. Berkembangnya FinTech syariah ini juga salah satu langkah digitalisasi ekonomi syariah agar sanggup bersaing secara global. Sampai saat ini, ada 12 FinTech syariah yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Mengacu pada Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) No 117/ 2018 tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah, setidaknya terdapat enam jenis akad yang diperbolehkan dalam FinTech syariah.
Pertama, al-bai’ (jual beli) yaitu akad antara penjual dan pembeli yang mengakibatkan berpindahnya kepemilikan objek yang dipertukarkan (barang dan harga).
Kedua, ijarah yaitu akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu dengan pembayaran ujrah atau upah.
Ketiga, mudharabah yaitu akad kerja sama suatu usaha antara pemilik modal (shahibu al-maaf) yang menyediakan seluruh modal dengan pengelola dan keuntungan usaha, dibagi di antara mereka sesuai nisbah yang disepakati dalam akad. Sementara itu kerugian ditanggung oleh pemilik modal.
Keempat, musyarakah yaitu akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana setiap pihak memberikan kontribusi dana modal usaha. Dalam konsep akad ini terdapat ketentuan keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati atau secara proporsional, sedangkan kerugian ditanggung oleh para pihak secara proporsional.
Kelima, wakalah bi al ujrah yaitu akad pelimpahan kuasa untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang disertai dengan imbalan berupa ujrah (upah).
Keenam, qardh yaitu akad pinjaman dari pemberi pinjaman dengan ketentuan bahwa penerima pinjaman wajib mengembalikan uang yang diterimanya sesuai dengan waktu dan cara yang disepakati.
Transaksi FinTech syariah mengedapankan prinsip transparansi dan adil. FinTech syariah turut menjadi solusi pendaan UMKM yang terbebas dari unsur maysir, gharar, dan riba serta dianggap lebih minim risiko apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Namun dalam praktiknya, FinTech syariah sebetulnya masih menghadapi banyak hambatan dan tantangan.
Pertama, literasi keuangan masyarakat terutama keuangan syariah masih rendah. Sebagian besar masyarakat belum memahami penerapan teknologi dalam keuangan.
Kedua, syarat dan infrastruktur yang tersedia masih kurang. Umumnya, start-up yang baru merintis belum memiliki banyak modal. Sehingga, fintech syariah ini kesulitan dalam melengkapi persyaratan yang diharuskan.
Ketiga, Indonesia masih belum memiliki regulasi yang matang mengenai fintech syariah. Sehingga calon investor belum begitu tertarik untuk bergabung di fintech syariah. Terlebih lagi masih banyak yang beranggapan bahwa fintech syariah dan konvensional hanya berbeda nama.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dibutuhkan peran generasi muda yang notabene lebih memahami teknologi dan mudah beradaptasi dengan hal baru. Penting bagi kita semua untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang penggunaan teknologi bidang keuangan agar tidak tergerus oleh kemajuan zaman. Selain itu, literasi keuangan syariah juga masih harus terus ditingkatkan agar masyarakat dapat memahami pentingnya bertransaksi ekonomi sesuai syariat Islam. Dengan demikian, diharapkan hadirnya FinTech berbasis syariah ini mampu menjadi solusi bagi UMKM dalam mencukupi pendanaan yang sesuai prinsip syariah dan pada akhirnya turut mendukung perekonomian dari sektor riil terutama pada industri halal. Kita tentu sangat mengharapkan Indonesia mampu menjadi eksportir produk halal terbesar dunia, bukan lagi sebagai importir seperti saat ini. Amin Ya Robbal Alamin 🤲
Komentar
Posting Komentar