Nuansa Ramdhan Dalam Menjulang Pertumbahan Ekonomi
Kraksaan 27 Mei 2018, Ramadhan (Ramdha) atau bisa disebut sebagai bulan prioritasnya ummat dimana merupakan moment yang paling strategis bagi umat islam untuk memperbaiki juga sebagai bahan intropeksi diri setelah melihat berbagai kekurangan-kekurangan yang telah di alami di masa lalu. Selama ini kerap timbul kesan bagi sebagian umat islam bahwa bulan ramadhan adalah bulan istirahat dan bukan bulan berleha-leha menunggu kumandang adzan magrib. Tentu statement seperti ini sangat salah dan wajib diluruskan demi mencapai keberkahan untuk bulan-bulan berikutnya,
Secara etimologi, Ramadhan berasal dari akar kata ‘’ramadl’’ yang berarti membakar artinya ramadhan adalah momentum umat islam untuk membakar dosa lebih intensif dibandingkan bulan lain, menurut Ustad. Abdul somad, Lc,M.A : Ramdahan memilik dua arti yang sangat istimewa, dimana yang pertama ramadhan bersal dari kata Siyami (menahan) dalam artian selama satu bulan penuh kita diwajibkan utuk menahan lapar dahaga dan menahan nafsu yang tidak baik untuk diri kita, sedangkan yang kedua ramadhan berasal dari kata Qiyami (berdiri) dimana ramadhan itu bukan hanya diartikan sebagai penahan rasa kita saja melainkan dalam diri kita menumbuhkan rasa semnagat baru (Fastabikul Khoiroit), dengan memperbanyak shalat malam dan sebagainya. Bahkan dalam hadist Nabi yang shohih “jika puasa kalian hanya diniatkan untuk menahan lapar dan haus dan tidak menahan dari omongan kotor, maka sungguh Allah tidak butuh akan puasa mu”
Ramadhan adalah bulan suci yang penuh makna, sarat nilai, multi hikmah bermega pahala. Selain menyehatkan raga dan menenangkan jiwa, berpuasa juga mengajarkan hidup toleran, sederhana, dan bahkan produktif. Tidak hanya itu, ramadhan turut meletakkan landasan pembangunan ekonomi umat. Setiap kali ramadhan datang kita selalu menaruh harapan besar pada bulan suci itu. Harapan untuk kehidupan yang lebih baik sesuai dengan nilai-nilai Qur’ani. Tidaklah mengherankan jika tema-tema dakwah ramadhan selalu mengarah kepada perubahan. Seolah-olah ramadhan akan merubah segalanya. Akhlak yang kerap kali absen dalam kehidupan sosial budaya berubah menjadi kehidupan yang berkeadaban. Demikian pula kehidupan ekonomi kita yang sangat kapitalistik dan abai terhadap dhuafa dan mustadh’afin, berubah menjadi kehidupan ekonomi yang menjunjung nilai-nilai syariah.
Yang sangat menarik, karunia di tengah Ramadhan tidak hanya hal-hal yang berdimensi ukhrawi, tapi aspek keduniaan pun cukup terbuka lebar terutama dimensi ekonomi. Fakta menunjukkan, para pelaku ekonomi meraih pendapatan besar atas kehadiran bulan suci Ramadhan. Tak sedikit di antara umat manusia yang berpuasa ataupun tidak, dari barisan Muslim ataupun umat lainnya merasakan manfaat besar dari kehadiran Ramadhan yang tersirkulasi atau terdistribusi secara menyeluruh, mulai dari wilayah perkotaan hingga pedesaan.
Tak dapat disangkal, roda ekonomi benar-benar tampak hidup selama bulan suci ini. Karena itu, tidaklah berlebihan jika sebagian umat manusia mengharapkan seluruh bulan (sepanjang tahun) menjadi Ramadhan, meski hal ini tidaklah mungkin. Keinginan ini sebagai implikasi positif atas tingkat pendapatan yang menaik tajam dan hal ini berbeda bila diperbandingkan bulan-bulan lainnya.
Menurut Ali Sakti pegiat ekonomi Islam BI (Bank Indonesia) menuturkan Ramadhan adalah bulan ekonomi Islam. Pertama, Ramadhan adalah bulan di mana manusia bisa jernih berfikir dan bertindak sehingga dakwah-dakwah tentang manusia yang bersahaja dalam bingkai ekonomi Islam sangat dekat dengan perilaku manusia-manusia Ramadhan. Kedua, Ramadhan menjadi bulan di mana manusia bersemangat menjalankan perintah-perintah Tuhan tanpa banyak bertanya alasan di baliknya. Ketiga, pada Ramadhan manusia tidak atau mungkin kurang mengedepankan hitungan-hitungan cost-benefit material.
Pada bulan ini manusia mengedepankan hitungan cost-benefit spiritual, sebagai kompensasi dari kerakusan pada bulan di luar Ramadhan atau memang sebuah kesadaran yang tulus. Kita perhatikan, perilaku sedekah, infak dan zakat meningkat cukup dramatis di bulan ini. Bahkan dalam bulan suci ramadhan sekarang ini pemerinthan kita dalam lembaga Baznas (badan amil zakat nasional) meregulasikan suatu kebijakan zakat, dimana masyarkat Indonesia dianjurkan untuk membeli beras petani Indonesia, dalam hal ini tentu kita sadari dengan datang bulan ramadhan ini bukan hanya memberkahi secara kejiwaan saja melainkan memberkahi kenegaraan juga dalam bingkai zakat untuk menjulang perberdayaan petani Indonesia.
Di sinilah, bulan Ramadhan menjadi momentum lahirnya semangat dan kesadaran umat Islam untuk melakukan aktivitas ekonomi sesuai ajaran agamanya: meninggalkan riba (bunga), menjauhi gharar, maysir, tadlis, ihtikar dan lain sebagainya. Sebab, implikasi puasa tidak saja berdimensi ibadah spiritual an-sich, tetapi juga mengajarkan akhlak horizontal (mu’amalah), khususnya dalam bidang bisnis. Sungguh aneh apabila ada orang berpuasa dengan khusyuk, tetapi melanggar ajaran-ajaran Allah dalam mu’amalah, seperti masih mempraktekkan riba yang diharamkan atau melakukan penipuan harga yang tidak pantas.
Implementasi aktivitas ekonomi Islam ini diharapkan dapat memperkuat sendi perekonomian umat yang puncaknya akan melahirkan social distributive justice (keadilan distribusi sosial). Harta tidak hanya berputar pada segelintir orang dengan mengoptimalkan konsep zakat, infak, shadaqah dan wakaf. Yang nantinya mengakibatkan kesenjangan sosial dalam masyarakat kita.
Dimana di dalam bulan suci ramdhan ini, mengantarkan Indonesia lebih baik kedepannya, yang awalnya Indonesia menjadi negara Midlle income Trap, akan tetapi dengan datangnya bulan ini mengantarkan Indonesia menjadi negara yang maju dengan petumbuhan ekonomi yang memuaskan.
Oleh : Devisi Jurnalistik Ksei fogeis.
Good Job 💪
BalasHapusWaduh, semkins exis aja devisi jurnalis ini , semangat ikhwan dan akhowat, semoga bulan ramadhan ini mwnjadi aqal untuk masyarakat twrhadao ekonomi islam....
BalasHapussiap, amin, barokallah, mohon doanya pak ketum...
BalasHapus