KAFEIN: Etika Bisnis Islam Ala Rosulullah





Assalamu’alaikum para ekonom Rabbani….!

KAFEIN (Kajian Fogeis INZAH) Bulanan kali ini berjudul “Etika Bisnis Islami Ala Rosulullah” yang dihadiri dosen cantik dari INZAH yaitu Ibu Maryani, M.M sebagai pemateri kita. Dan moderator yang tidak kalah cantik yaitu Ukhti Roesdiana Hadanah ~panggil Sri Ana juga boleh kok, hehehe...~

Siapa sih yang tidak suka berbisnis? Buktinya Bisnis dagang Rosulullah SAW saja dimulai sejak Beliau masih belia. Bisnis Rosulullah SAW terus berkembang hingga Beliau terkenal sebagai seorang  pedagang ulung dan pekerja keras. Dalam berdagang, beliau sangat menjaga mutu barang dagangan yang hendak dijualnya dari keadaan cacat yang nanti akan merugikan pembelinya. Apabila di barang dagangannya terdapat cacat, maka Beliau akan memberitahukan kecacatan barangnya kepada calon pembelinya. Berkat sifat jujur dan amanahnya itulah Rosulullah SAW dipercaya dan dagangannya juga sampai ke luar negeri.

Keberhasilan Rosulullah SAW dalam berbisnis dipengaruhi oleh kepribadian diri Beliau yang dibangunnya atas dasar dialogis realitas sosial masyarakat Jahiliyyah dengan dirinya. Berikut beberapa etika bisnis Rosulullah SAW dalam praktek bisnisnya antara lain:

Pertama, kejujuran. Dalam melakukan transaksi bisnis Rosulullah SAW menggunakan kejujuran sebagai etika dasar. Gelar al-Amīn (dapat dipercaya) yang diberikan masyarakat Makkah berdasarkan perilaku Rosulullah SAW pada setiap harinya sebelum ia menjadi pelaku bisnis. Beeliau berbuat jujur dalam segala hal, termasuk menjual barang dagangannya. Cakupan jujur ini sangat luas, seperti tidak melakukan penipuan, tidak menyembunyikan cacat pada barang dagangan, menimbang barang dengan timbangan yang tepat, dan lain-lain. Dalam konteks sekarang, sekilas kedengarannya aneh bahwa kejujuran merupakan sebuah prinsip etika bisnis karena mitos keliru bahwa bisnis adalah kegiatan tipu menipu untuk meraup untung besar. Memang etika ini agak problematik karena masih banyak pelaku bisnis sekarang yang mendasarkan kegiatan bisnisnya dengan cara curang, karena situasi eksternal atau karena internal (suka menipu).

Kedua, amanah. Amanah adalah bentuk masdar dari amuna, ya’munu yang artinya bisa dipercaya. Ia juga memiliki arti pesan, perintah atau wejangan. Dalam konteks fiqh, amanah memiliki arti kepercayaan yang diberikan kepada seseorang berkaitan dengan harta benda. Rosulullah SAW dalam berniaga menggunakan etika ini sebagai prinsip dalam menjalankan aktivitasnya. Rosulullah SAW menjual barang-barang yang dijual sesuai dengan amanat yang ia terima.

Ketiga, tepat menimbang. Etika bisnis Rosulullah SAW dalam menjual barang harus seimbang. Barang yang kering bisa ditukar dengan barang yang kering. Penukaran barang kering tidak boleh dengan barang yang basah. Demikian juga dalam penimbangan tersebut seseorang tidak boleh mengurangi timbangan. Beliau tidak mengurangi sedikitpun timbangan, sehingga kejujuran dan ketepatannya dalam menimbang sudah tersebar dimana-mana. Jika orang membeli barang dari Rosulullah SAW, mereka tidak ragu atas timbangannya.

Keempat, gharar. Dalam prakteknya Rosulullah SAW menjauhi praktek gharar (sesuatu yang tidak diketahui pasti benar atau tidaknya), karena membuka ruang perselisihan antara pembeli dan penjual. Rosulullah SAW juga melarang penjualan secara urbun (bai’ al-urbun). Rosulullah SAW melarang penjualan dengan lebih dahulu memberikan uang muka (panjar) dan uang itu hilang jika pembelian dibatalkan.

Kelima, tidak melakukan penimbunan barang. Dalam bahasa Arab penimbunan barang disebut ihtikar. Penimbunan ini tidak diperbolehkan karena akan menimbulkan kemadharatan bagi masyarakat karena barang yang dibutuhkan tidak ada di pasar. Tujuan penimbunan dilakukan dengan sengaja sampai dengan batas waktu untuk menunggu tingginya harga barang-barang tersebut. Rosulullah SAW dalam praktek bisnisnya menjauhi tindakan penimbunan. Barang dagangan yang dibawanya selalu habis. Bahkan jika perlu barang-barang dagangan yang dimiliki oleh Khadijah akan dijual semuanya. Namun karena keterbatasan alat transportasi Rosulullah SAW membawa barang secukupnya.

Keenam, tidak melakukan al-ghab dan tadlīs. Al-ghab artinya al-khada (penipuan), yakni membeli sesuatu dengan harga yang lebih tinggi atau lebih rendah dari harga rata-rata. Sedangkan tadlīs yaitu penipuan yang dilakukan oleh pihak penjual atau pembeli dengan cara menyembunyikan kecacatan ketika terjadi transaāksi. Rahasia kesuksesan Rosulullah SAW dalam praktek bisnisnya dilakukan dengan menerapkan harga yang sedang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Baginya yang penting adalah sirkulasi barang diantara para pedagang dan pembeli.

Ketujuh, saling menguntungkan. Prinsip ini mengajarkan bahwa dalam bisnis para pihak harus merasa untung dan puas. Etika ini pada dasarnya mengakomodasi hakikat dan tujuan bisnis. Seorang produsen ingin memperoleh keuntungan, dan seorang konsumen ingin memperoleh barang yang bagus dan memuaskan, maka sebaiknya bisnis dijalankan dengan saling menguntungkan.

Tujuh etika bisnis islami di atas merupakan tips yang patut kita tiru. Insyaallah dengan meneladani sifat-sifat Beliau bisnis kita akan sukses dan mendapat kepercayaan dari pembeli. Tidak ada keberhasilan yang datang dengan cuma-cuma. Semua kesuksesan yang ada di dunia ini butuh proses dan usaha. Jangan lupa juga berdoa kepada Sang Pemilik Alam. Karena usaha tanpa doa akan sia-sia. Good luck!



Oleh: Dev. Jurnalistik

Komentar

Postingan Populer