Utang Piutang Dalam Hukum Islam




A. Pengertian Utang Piutang
Dalam terminologi fikih muamalah, utang piutang disebut dengan‚ dayn‛ ( دين ). Istilah ‚dayn‛ ( دين) ini juga sangat terkait dengan istilah‚ qard‛ ( قرض ) yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan pinjaman. Sebagian ulama ada yang mengistilahkan utang piutang dengan istilah iqrad atau qard. Salah satunya adalah Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibary, dalam kitab Fath al-Mu’in beliau mendefinisikan iqrad dengan memberikan hak milik kepada seseorang dengan janji harus mengembalikan sama dengan yang diutangkan. Dalam pengertian umum, utang piutang mencakup transaksi jual beli dan sewa menyewa yang dilakukan secara tidak tunai (kontan), transaksi seperti ini dalam fiqih dinamakan mudayanah atau tadayyun.
Utang piutang (qard) menurut bahasa artinya al-qat‘u (memotong). Dinamakan demikian karena pemberi utang (muqrid) memotong sebagian hartanya dan memberikannya kepada pengutang. Secara istilah, menurut Hanafiyah qard adalah harta yang memiliki kesepadanan yang anda berikan untuk anda tagih kembali. Atau dengan kata lain suatu transaksi yang dimaksudkan untuk memberikan harta yang memiliki kesepadanan kepada orang lain untuk dikembalikan yang sepadan dengan itu.

B. Etika Dalam Transaksi Utang Piutang
Di samping adanya syarat dan rukun sahnya utang piutang, juga terdapat ketentuan-ketentuan mengenai adab atau etika yang harus diperhatikan dalam masalah utang piutang (Qard), yaitu:
1. Utang piutang harus ditulis dan dipersaksikan
2. Etika bagi pemberi utang (muqrid)
Orang yang menghutangkan wajib memberi tempo pembayaran bagi yang meminjam agar ada kemudahan untuk membayar.
Jangan menagih sebelum waktu pembayaran yang sudah ditentukan.
Hendaknya menagih dengan sikap yang lembut dan penuh maaf.
Memberikan penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi utangnya setelah jatuh tempo. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 280.
3. Etika bagi orang yang berhutang (muqtarid{)
Diwajibkan kepada orang yang berutang untuk sesegera mungkin melunasi utangnya tatkala ia telah mampu untuk melunasinya, Sebab orang yang menunda-nunda pelunasan utang padahal ia mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zalim. (HR. Bukhari Muslim)
 Pemberi utang (muqrid) tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berutang (muqtarid) dalam bentuk apapun. Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang memberikan utang (muqrid) kepada si penghutang (muqtarid).
Berutang dengan niat yang baik, dalam arti berutang tidak untuk tujuan yang buruk seperti: berutang untuk foya-foya (bersenang-senang), berutang dengan niat meminta karena jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah utang agar mau memberi dan berutang dengan niat tidak akan melunasinya.
Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaknya orang yang berutang memberitahukan kepada orang yang memberikan utang, karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan. Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan merubah hutang yang awalnya sebagai wujud tolong menolong menjadi permusuhan.

C. Hukum memberi hutang 
Hukum memberikan hutang adalah sunnah, karena membantu meringankan kesusahan saudara-saudara kita. Sesuai dengan hadis Nabi Muhammad Saw :

مَنْ نَفَّسَ عَنْ اَخِيْهِ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَمَةِ وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَادَامَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ اَخِيْهِ

Artinya : 
Barang siapa yang menghialangkan kesusahan pada saudaranya dari bebebrapa kesusahan dunia, maka Allah akan menghilangkan kesusahannya dari beberapa kesusahan hari kiamat. Allah akan menolong hambanya selagi hambanya mau menolong saudaranya.

Komentar

Postingan Populer